Sejarah Nadhathul Ulama


Sejarah Nhadathul Ulama - Nadhathul Ulama yang sering dikenal dengan NU adalah sebuah organisasi Islam besar yang berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi. Ada tiga tokoh penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nadhatul Ulama ini yaitu Kyai Wahab Chasbullah (asal Jombang), Kyai Hasyim Asy’ari (jombang) dan Kyai Cholil (Bangkalan). Masing-masing tokoh tersebut memegang peranan yang berbeda, Kyai Wahab sebagai pencetus ide, Kyai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kyai Cholil sebagai penentu berdirinya organisasi Islam ini.
Selain ketiga tokoh tersebut masih ada tokoh-tokoh yang lain yang berperan penting. Sebut saja KH. Nawawi Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta izin kepada Kyai Hasyim untuk membicarakan pendirian Jamiyyah, Kyai Wahab oleh Kyai Hasyim diminta untuk menemui Kyai Nawawi.
Atas petunjuk Kyai Hasyim, Kyai Ridhwan diberikan tugas untuk membuat lambang NU dan juga menemui Kyai Nawawi. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan peran Kyai Wahab, Kyai Hasyim, Kyai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lain yang mendirikan NU.

Keresahan Kyai Hasyim

Keresahan Kyai Hasyim muncul setelah Kyai Wahab meminta nasihat dan ide untuk mendirikan Jamiyyah bagi para ulama Ahlussunah wal Jamaah. Kyai Hasyim tak mungkin mengambil keputusan sendiri, beliau pun melibatkan para kyai dari berbagai pondok pesantren.  Banyak sekali hal-hal yang harus dipetimbangkan, hal tersebut juga harus meminta pendapat dan masukan dari para kyai-kyai sepuh lainnya.
Pada awal pembentukan Jammiah wal Jamaah muncul forum dikusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kyai Wahab pada 1924 di Surabaya. Forum diskusi bernama “Potret Pemikiran”. Forum ini dibentuk untuk mewujudkan kepedulian Kyai Wahab dan para kyai lainnya terhadap masalah-masalah yang akan dihadapi oleh umat Islam, terkait dalam bidang keagamaan, pendidikan dan politik.
Setelah forum Tashwirul Afkar membentuk Jammiah, Kaia Wahab merasa perlu meminta izin kepada Kyai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yang berpengaruh. Setelah pertemuan itu, muncul sebuah gerakan yang tampak oleh Kyai Cholil. Beliau adalah seorang ulama yang waskita atau mukasyafah.
Kyai Cholil mengamati suasana batin yang melanda Kyai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya larut dalam keresahan. Lalu Kyai Cholil memanggil seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin yang terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin yang ternyata masih cucunya sendiri.
Tongkat “Musa”

“Saat ini Kyai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kyai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kyai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.

“Setelah memberikan tongkat, bacakan lah ayat-ayat berikut kepada Kyai Hasyim,” kata Kyai Cholil kepada As’ad seraya membacakan Aurat Thaha ayat 17-23.

Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkan lah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkan lah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”

Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kyai Cholil memberikan dua keping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk pergi ke Jombang. As’ad menemui Kyai Hasyim dan tongkat dari Kyai Cholil untuk Kyai Hasyim dipegang erat-erat. Meski dibekali uang, As’ad lebih memilih berjalan kaki ke jombang dan dua keping uang logam tersebut disimpan oleh As’ad disakunya sebagai kenang-kenangan.

Setibanya di Jombang, As’as langsung menuju ke kediaman Kyai Hasyim. Kedatangan As’ad pun disambut dengan baik oleh Kyai Hasyim. Karena As’ad adalah utusan khusus gurunya, Kyai Cholil. Setelah bertemu dengan Kyai Hasyim, As’ad menyampaikan langsung niat kedatangannya ke Jombang lalu menyerahkan tongkat yang diberikan oleh Kyai Cholil.

Kyai Hasyim pun menerima tongkat tersebut dengan penuh perasaan dan terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa dan kenangan menjadi santri pun terbayang di pelupuk matanya. Kyai Hasyim bertanya kepada As’ad. Apakah masih ada pesan lainnya dari Kyai Cholil? Lalu as’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.

Setelah mendengarkan ayat yang dibacakan dan menangkap isi kandungan tersebut, bahwa Kyai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kyai Wahab beserta kyai lainnya mendirikan Jammiah wal Jamaah. Sejak itu, proses mendirikan Jamiyyah tersebut terus dimatangkan. Meski sudah mendapat dukungan dari Kyai Cholil untuk mendirikan Jamiyyah. Kyai Hasyim tetap bermusyawarah dengan para kyai lainnya terutama dengan Kyai Nawawi Noerhasan yang menjadi pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. ¬Terlebih lagi Kyai Cholil yang dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar pada Kyai Noerhasan bin Noerchotim yaitu ayahnya Nawawi Noerhasan. Untuk itu, Kyai Hasyim meminta Kyai Wahab Agar menemui Kyai Nawawi. Setelah diperintahkan oleh Kyai Hasyim, Kyai Wahab segera menemui Kyai Nawawi.

Setelah tiba di Aidogiri, Kyai Wahab langsung menuju ke kediaman Kyai Nawawi, lalu Kyai Wahab menyampaikan maksud kedatangannya. Namun, Kyai Nawawi tidak langsung mendukungnya, melainkan memberikan saran untuk berhati-hati. Dan pesan dari Kyai Nawawi agar Jamiyyah yang akan didirikan itu harus hati-hati dengan masalah uang.  Kyai Nawawi setuju dengan pendirian Jamiyyah ini tidak memakai uang. Aapabila butuh uang pun, para anggota harus turun tangan.

Setelah proses dari sejak Kyai Cholil memberikan tongkat sampai dengan terakhir pembentukan jamiyyah ternyata berjalan cukup lama. Setahun berlalau ketika Kyai Cholil memberikan tongkat kepada Kyai Hasyim.

Sampai pada suatu hari As’ad muncul lagi di kediaman Kyai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kyai Cholil yang untuk menyerahkan sebuah tashbih dan meminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu. Dengan memberikan dua bacaan asma Allah ini, mungkin bacaan yang diberikan oleh Kyai Cholil tersebut merupakan isyarat  agar Kyai Hasyim benar-benar memantapkan untuk mendirikan Jamiyyah. Sedangkan bacaan asma Allah sebagai doa agar niat mendirikan Jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.

Jabbar dan Qahhar adalah dua asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar artinya Maha Memaksa (hendaknya terjadi tidak bisa dihalangi oleh siapa pun). Sedangkan Jabbar ada yang mengartikan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi atau dikalahkan oleh siapa pun). Di kalangan pesantren, dua asma ini dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa. Setelah menerima tashbih dan amalan tersebut, tekad Kyai Hasyim untuk mendirikan Jamiyyah semakin mantap.

Kyai Cholil mmeninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925), sebelum Jamiyyah yang diidam-idamkan berdiri. Setahun kemudian, pada 16 rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nadhatul Ulama (NU). Setelah para ulama sepakat dengan dengan Jamiyyah yang diberi nama Nadhatul Ulama, Kyai Hasyim meminta Kyai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya.

Melalui proses Istiqharah, Kyai Ridhwan mendapatkan isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah lambang itu jadi, Kyai Ridhwan menghadap Kyai Hasyim dan menyerahkan lambang daru Nadhatul Ulama (NU) ini. Lalu Kyai Hasyim meminta sowan ke Kyai Nawawi di Sidogiri untuk meminta saran. Dengan membawa sketsa gambar berlambang NU, Kyai Ridhwan menemui Kyai Nawawi di Sidogiri, dan pada akhirnya Kyai Nawawi menyukai lambang dari gambar Nadhatul Ulama ini dan terbentuklah Jamiyyah Nadhatul Ulama.

Semoga dengan artikel Nadhatul Ulama ini bisa bermanfaat bagi Anda yang ingin tahu kilas sejarah NU ini

0 comments:

Post a Comment