Programmer atau Designer?

Siang itu saya beragenda mewawancarai seorang pelamar untuk posisi staf admin keuangan. Malam sebelumnya saya memperhatikan surat aplikasi pekerjaan yang ia kirim, terlihat ada yang unik.

Cewek 25 tahun ini pegang 2 gelar sarjana S1; akutansi dan desain komunikasi visual. Pekerjaan sebelumnya adalah desainer website di sebuah biro jasa website di Surabaya. Dari portofolio yang bisa saya lacak, karya-karyanya cukup bagus. Malah istimewa kalau boleh sedikit memberi apresiasi lebih. Tapi kenapa ia membidik posisi administrasi alih-alih posisi desainer web yang juga ditawarkan?

Ternyata tak perlu waktu lama untuk tahu motifnya. Dia takut ketika bilang bisa bikin (desain) website, orang akan melihat dirinya bisa bikin dari keseluruhan proses produksi website, A-Z. Padahal dia ‘cuma bisa’ mendesainkan saja. Paling sampai urusan slicing, menggal-menggal worksheet desain sesuai dengan struktur elemen kebutuhannya.

Saya bisa langsung memaklumi ketakutannya. Dari banyak pengalaman saya pun sering menemukan kondisi banyak orang yang tak bisa membedakan peran designer web dan web programmer dalam proses produksi website. Apalagi di kota saya, Jogja. Di sini banyak pemilik bisnis yang sudah melek internet dan merasa butuh punya website. Tapi prinsip hemat sering jadi panglima. Kalau bisa dibikin oleh satu orang, ora perlu lah harus setim segala.

Sayangnya yang salah melihat ini bukan cuma orang luar saja, para pelaku jasa pembuatan website pun rancu membedakan antara designer dan programmer. Diperparah oleh munculnya banyak blog engine (wordpress, jomla, tumblr dll) yang kian memudahkan orang membuat website. Satu lagi dampak dari teknologi yang cenderung ‘instant’, bisa bikin orang tak lagi melihat esensi.

Pastinya itu cuma efek samping saja, pasti masih banyak hal baik yang didapat dari berbagai solusi teknologi termasuk blog engine. Tak jarang saya dengar cerita rekan yang sedang memprospek calon klien pembuatan website. Sering harga yang mereka beri ditanggapi dengan, “koq mahal ya. Kan sekarang bikin website itu gratis”.

Tim dalam produksi website
Dalam pembuatan website ada banyak fungsi yang berperan, tergantung kompleksitas website yang akan dibuat. Fungsi ini yang diartikan sebagai pelaku yang terlibat. Setidaknya dalam proses pembuatan website yang terlibat ada 3 fungsi; desainer, programmer dan yang bertanggung jawab urusan isi (content).

Desainer beda dengan programmer. Desainer berada di area estetis, upaya menyentuh perasaan tentang keindahan. Programmer berada di wilayah teknis matematis. Designer bekerja dengan imaginasi, programmer dengan logika.
Dalam sebuah kerja tim, desainer bertugas menangkap preferensi persepsi pengunjung agar bisa dengan mudah tertarik (user experience) dan gampang memahami isi pesan webite (navigasi). Programmer bertanggungjawab mewujudkan imaginasi desainer dengan fungsi dan bahasa yang dimengerti oleh sistem jejaring internet; HTML, PHP, SQL, Java, Ajax, Delphi, Oracle, Ruby dan lain-lain.

Analoginya seperti membangun gedung, perlu ada arsitek yang berimaginasi tentang gedung yang artistik, fungsional, bikin betah penghuninya atau bahkan bikin kagum orang. Lalu ada insinyur sipil yang berperan mewujudkan imaginasi ini melalui pendekatan ilmiah dan matematis.

Kalau penanggung jawab isi berperan pada materi yang akan dimuat oleh website. Menyiapkan struktur isi website, isi menu tiap menu, narasi, copywriting dan lain-lain. Kadang 3 peran ini sering perlu ada 1 orang koordinator yang mampu menjembatani 3 fungsi tadi. Biasanya ini dipegang oleh seorang manajer proyek, dia mengawal dari perumusan konsep kreatif website yang mampu menjawab kebutuhan pemilik website sampai website siap tersaji.

Kadang website masih perlu keterlibatan pihak lain. Misal dalam ranah visual bisa perlu ada fotografer, ilustrator dan lainnya. Programmer pun bisa perlu bantuan programmer lain; misal programmer data base bila data yang dikelola begitu masif. Atau tester bila situs tersebut perlu menseriusi masalah keamanan website agar ndak gampang diretas orang.

Atas nama ‘semua bisa disederhanakan’
Kerancuan programmer dan desainer pun juga terjadi dalam analogi bikin gedung atau rumah. Ada yang menyederhanakan arsitek juga bisa diserahin tugas hingga tahap pembangunan. Atau ahli sipil pun bisa diminta membuat desain arsitekturnya.

Tak salah memang. Dalam keilmuan mereka pasti ada potongan area yang sama. Arsitek pun pasti belajar mengenai dasar-dasar ketekniksipilan, meski cuma mendasar. Secara etika profesional pun memungkinkan arsitek menangani tahapan pembangunan pada gedung dengan batasan hingga 3 lantai. Lebih itu harus pakai ahli sipil, setidaknya ini perkara keamanan gedung.

Ahli sipil pun pasti juga bisa ‘dipaksa’ membuat desain arsitektur bangunan maupun rumah. Apalagi kalau yang pesan tak terlalu mikirin orisionalitas. Banyak desain yang bisa dicomot. Atau sekedar bangunan ala kadarnya yang tak memusingkan estetika.

Kondisi yang sama, programmer pun pasti bisa bikin website tanpa bantu desainer web. Programmer pasti ndak kesulitan megang aplikasi desain yang sering dipakai buat desain web semacam fireworks, photoshop, in-design atau malah coreldraw. Tapi jangan berharap solusi kreatif atau orisionalitas atas user experience dan navigasi. Toh sekarang juga banyak website yang menyediakan templete atau contoh desain yang bisa dipakai sebagai referensi.

Pun designer bisa bikin website tanpa programmer. Kini ada banyak blog engine yang bisa menyederhanakan tahapan koding dan desain. Fenomena ini begitu banyak kita lihat, programmer dan desainer menjual jasa mereka secara mandiri tanpa keterlibatan yang lain.

Seperti ahli sipil dan arsitek, programmer dan designer web pun punya irisan area. Designer yang baik pasti dia akan mengikuti perkembangan teknologi proggraming web. Ia perlu tahu imaginasi yang bisa diwujudkan dengan HTML5 ataupun CSS3. Ia juga paham konsep tableless ataupun responsive web yang kini sedang marak. Cuma pastinya pemahaman ini tak menuntut dia paham detil hingga pada aspek teknis.

Lalu bagaimana urusan isi web? Ini juga bisa disederhanakan lagi. Boleh lah ada ahli yang bilang bikin website itu content matter, isi adalah panglima. Cuma banyak orang yang tak memusingkan masalah ini. Website kafe, hotel atau studio foto sudah ada pakemnya harus diisi apa, ndak usahlah mikir sesuatu yang baru di situ. Ndak usah mikir karakteristik tiap entitas bisnis dan konsep komunikasi pemasaran yang lebih komunikatif.

Tak ada yang salah dengan kondisi ini, selain sekedar banyak yang sudah tak lagi membedakan fungsi dasar mengapa ada istilah ‘programmer’ dan ‘designer’. Toh kebutuhan pasar memang masih banyak yang membutuhkan kesederhanaan ini. Mereka perlu punya website hanya untuk memastikan lembaga mereka tersedia di internet. Kayak mereka punya kartu nama, selain logonya tak ada elemen yang beda dengan kartu nama-kartu nama lainnya.

Entitas yang merasa perlu websitenya ditangani dengan pendekatan yang benar lazimnya memang sudah sadar bahwa mereka perlu berinvestasi membangun mereknya (branding). Mereka merasa perlu ada pembeda (distinctive) dalam setiap identitas yang ia bikin (corporate identity) untuk bisa terlihat diantara bejibun pesaing. Mereka yang sudah sadar membabangun ikatan emosi merek dengan pelanggan. Mereka sudah berpikir mengenai modifikasi persepsi untuk membangun citra positif yang akan berdampak pada reputasi.

Sekarang, jenis programmer web atau designer web seperti apakah dirimu?

0 comments:

Post a Comment